Pendahuluan
Banyak orang membicarakan tentang Kesetaraan Gender baik
laki – laki maupun perempuan, tapi umumnya perempuan yg sering membicarakan hal
tsb.
Dalam
membicarakan soal Kesetaraan Gender, Kesetaraan itu artinya sama padahal sama
belum tentu proporsional belum tentu pas.
Contohnya
begini “Saya naik kereta sama adik saya tempat duduk cuma 1 adik saya duduk
sedangkan saya berdiri gak Setara tapi Proporsional karna saya lebih kuat
itungannya jadi Setara”
Contoh
kedua “Saya duduk di kereta tempat duduk cuma 1 lalu ada wanita muda, sehat
melihat ke arah saya terus. Kalo disini membicarakan kesetaraan gender ya gak
saya kasih tempat duduk kan Setara”. Hehehe
Dalam
pengertian luas
Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana semua manusia
(baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka
dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang
kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu
sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh
apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan (Unesco, 2002).
Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan
jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dan alokasi sumber daya,
manfaat atau dalam mengakses pelayanan.
Membicarakan
gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan
sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan
yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan
kepercayaan masyarakat.
Dalam buku
ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak
mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu
laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang
"hanya" dimiliki oleh laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Demikian pula
dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar
kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia
akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng".
Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia
akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini
memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan
hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Bias gender
yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi
siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan
diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki
diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh
pada peran sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas.
Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas.
Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.
Kesetaraan
gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga.
Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik
bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan
keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang
tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik
laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
(Suara
Merdeka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar